Sabtu, Maret 03, 2012

love is not just a word

LOVE IS NOT JUST A WORD

San Diego, 22 Februari 2010

              Demi melihatnya ada di hadapanku, aku mengusap kepalanya lembut. Cassio bergerak dari tidurnya. Sejenak aku salah tingkah karena mengira dia akan terbangun. Tetapi sepertinya Cassio terlalu lelah saat ini setelah menungguiku semalam suntuk. Sakit di kepalaku memang telah hilang. Tapi hatiku terasa kosong. Karena telah sepenuhnya kepada sahabat yang ada di hadapanku sekarang. Yang sedang asyik tertidur dalam posisi duduk di sisi tempat tidurku. Dan aku sangat MENCINTAINYA! 

***

San Diego, 21 Februari 2010 pukul 07.45 waktu setempat

              “Vara, Vara!”
              Seseorang memanggil Vara dari belakang. Vara menoleh ke belakang. Tampak Cassio sedang mengejarnya. Ada – ada saja Cassio ini. Mereka kan pasti bertemu juga di kampus, kenapa harus mengejarnya seperti itu?
              “Vara!” panggil Cassio lagi.
              “Hei! Kenapa? Sepertinya kau tergesa – gesa sekali!”
              “Vara, ikutlah denganku!”
              “Kemana? Kalau kau akan membuatku terlambat dating ke kampus, lupakan saja!”
              Vara berjalan agak cepat meninggalkan Cassio. Tapi Cassio malah menahan lengan Vara. Vara tersentak, tubuhnya seketika berbalik menghadap Cassio yang tengah menatapnya.
              “Ikutlah denganku!” perintah Cassio lagi. Kali ini nadanya terdengar begitu serius.
              Dahi Vara mengernyit demi melihat tingkah aneh sahabatnya itu.
              “Oh, oke! Tapi kumohon berhentilah bersikap aneh dan lepaskan tanganmu dari lenganku! Aku bisa jalan sendiri.”
              “Aku tidak akan melepaskanmu lagi!”
              Mau tidak mau Vara ikut saja ditarik – tarik sedemikian oleh Cassio. Dirinya terlalu bingung hanya untuk menebak – nebak apa yang sebenarnya terjadi pada sahabatnya itu. Vara terbingung – bingung karena Cassio membawanya ke salah satu taman di kawasan Balboa Park.
              “Baiklah, apa yang akan kita lakukan di sini? Kau sungguh membuatku bingung,” ucap Vara pada Cassio yang masih terus menatapnya.
              Cassio tidak menjawab. Dia malah menghela napas panjang dan berjalan menyusuri  taman. Vara hanya bisa mengikutinya dalam diam. Cassio masih terus berjalan hingga langkahnya terhenti dan ia mendudukkan tubuhnya di sebuah bangku taman. Di hadapannya persis terhampar bermacam – macam bunga yang warnanya mampu menyejukkan mata. Cassio terduduk seolah – olah kelelahan sudah terlalu lama membebaninya. Vara duduk disamping sahabatnya itu dan menunggu sepatah kata yang akan terucap dari mulut Cassio.
              “Kau sedang ada masalah,” tutur Vara. Itu adalah sebuah pernyataan. Cassio malah menghela napas lebih panjang karenanya.
              “Sudah berapa lama kita bersama?”
              “Ayolah, Cassio. Pertanyaan macam apa itu?”
              “Jawab saja!”
              Kali ini giliran Vara yang menghela napas. “Baiklah. Empat tahun.”
              “Apakah kau tidak merasakan sesuatu sedikitpun terhadapku?”
              “Aku tidak mengerti.”
              “Ternyata benar. Hanya aku yang merasakannya. Tidakkah kau merasa aku menyukaimu sejak lama? Tidak bisakah kita akhiri saja persahabatan ini?”
              “Kenapa? Kau ingin kita memiliki hubungan yang lebih, lalu bila kita bertengkar hebat kita akan berpisah begitu saja? Kau sudah tidak ingin berada di dekatku lagi?”
              “Bodoh! Kenapa malah hal buruk begitu yang kau pikirkan? Kenapa tidak berpikir kita akan bahagia?”
              Vara diam saja. Dia tau sahabatnya itu benar. Dan bohong bila ia mengatakan ia tidak berharap lebih terhadap sahabatnya ini. dia juga sangat menyukai Cassio. Tapi apakah benar yang dirasakannya ini?
              “Jawablah. Aku menyukaimu.”
              “Tapi kenapa begitu tiba – tiba?”
         “Karena aku sakit keras. Hidupku tidak akan lama lagi. Aku tau aku egois dengan mengatakan ini padamu. Tapi sebelum semua terlambat, hiasilah hari – hariku yang tinggal sedikit ini. kumohon…”
              “Apa? Kau bercanda! Ini tidak lucu, Cass!”
       “Begitukah? Menurutmu aku membohongimu? Kalau begitu bagaimana bila aku menunjukkan ini padamu?”
              Vara melihat kertas yang disodorkan Cassio dan membuka lipatannya. Dari rumah sakit. Kertas itu adalah hasil pemeriksaandarah dari  laboratorium yang menyatakan bahwa Cassio mengidap kanker hati stadium akhir. Vara menutup mulutnya dengan tangan saking kagetnya.
              “Kau tau aku sering mengeluh soal sakit maag-ku? Ternyata tidak hanya maag biasa. Hatiku telah rusak. Jadi kumohon…”
           “Tidak! Jangan memohon! Ini tidak mungkin terjadi! Kau membohongiku! Kau membohongiku!” Vara berteriak – teriak. Tanpa terasa ia telah menangis sekeras – kerasnya.

              Tapi itu hanyalah sebuah mimpi buruk. Vara terbangun dan sadar dirinya benar – benar menangis. Mimpi itu sungguh nyata. Dan ia sadar ia telah memberikan seluruh hatinya untuk menggantikan hati Cassio yang telah rusak. Walau sekali lagi itu hanya mimpi. Tapi hatinya telah diserahkannya. Ia menyayangi sahabatnya sendiri. Ia tidak ingin kehilangan sahabatnya, cintanya. Astaga! Ia bahkan mencintai sahabatnya sendiri!
              Tiriririit! Tiriririit!
              Vara merasakan ponselnya bordering dan bergetar – getar tepat disampingnya. Vara berusaha menjawab panggilan masuk tapi kepalanya terasa berputar – putar. CASSIO tertera di layar ponsel membuat Vara ragu akan perasaannya sendiri. Jantungnya berdegup dua kali lebih cepat.
              “Halo…” jawab Vara dengan suara yang ternyata serak.
            “Ternyata benar dugaanku. Kau membutuhkan kehadiranku, kan? Kau baik – baik saja?” Tanya Cassio penuh perhatian, seperti biasa.
              “Aku baik – baik saja. Hanya sedikit pusing.”
              “Baiklah. Aku akan dating membawakan obat.”
              “Tidak usah, Cass!”
          “Hei, sejak kapan kau belajar menolakku? Apakah kita sudah tidak bersahabat lagi?” Cassio terdengar merajuk. Nadanya dibuat – buat.
              “Baiklah. Maafkan aku!”
             “Kau tau? Kau benar – benar aneh malam ini. Spertinya kau benar – benar sakit. Tunggu aku di rumah!”
              Tanpa menunggu jawaban Vara, Cassio sudah memutuskan panggilan. Sambil menunggu Cassio, Vara berusaha jalan ke dapur untuk menyeduh the hangat. Walaupun kepalanya terasa sakit sekali. Vara sedang berdiri di depan kompor ketika dirasakannya tubuhnya linglung. Ia nyaris pingsan. Untungnya Cassio datang tepat waktu dan memapah tubuh Vara ke kursi makan.
              “Anak nakal, kenapa kau bisa sampai sakit begini? Tidak makan lagi? Jangan terlalu sibuk mengerjakan tugas hingga lupa makan. Kau ingin membuat aku repot, ya?” Cassio berlagak memarahi Vara seperti sedang memarahi anak kecil.
              “Benarkah? Kau kerepotan karena aku?”
            “Hah, sudahlah! Jangan banyak bicara dulu. Bicaramu aneh sekali karena kau sakit. Biar malam ini aku merawatmu. Orangtua mu bisa memaksamu pulang ke Indonesia jika aku tidak becus merawatmu. Aku bisa gila jika itu benar – benar terjadi.”
              Mata Vara membulat demi mendengar perkataan Cassio barusan. Lagi – lagi jantungnya berdegup lebih cepat. Meski sebenarnya ia tahu maksud sahabatnya tadi bukan seperti yang sedang ia pikirkan.
              “Oya, minumlah obat ini! Lalu aku akan mengantarmu ke kamar. Istirahatlah! Mungkin kau terlalu banyak berpikir belakangan ini. Kalau perlu besok tidak usah masuk kuliah dulu. Aku akan meminta salinan catatan dari teman – temanmu.”
              “Kau tahu, Cass? Kau seperti ibuku saja! Berhentilah bersikap seperti ibu – ibu atau aku akan mulai memanggilmu bibi!”
              “Datanglah pada ibu, sayang! Hahahaha. Sepertinya kau sudah agak baikan.”
              Vara tersenyum menyambut gurauan sahabatnya ini. Biarlah seperti ini. Aku sudah senang hanya dengan melihatmu tertawa.Aku bisa bahagia dengan semua perhatianmu. Dan aku sudah cukup bisa bertahan dengan kasih sayangmu yang seperti ini. Walau kau selamanya sahabatku.
              Cassio membantu Vara berjalan ke kamarnya. Setelah minum obat sepertinya Vara benar – benar harus beristirahat. Wajahnya pucat dan tampak kelelahan. Keceriaan yang biasanya menghiasi wajahnya seakan lenyap tak berbekas saat ini. Vara langsung tertidur begitu Cassio menyelimutinya.
              “Tidurlah! Aku akan tetap menjagamu di sini.”
              Cassio pun tiba – tiba merasa lelah sekali. Rasa sakit pun mulai menggerogotinya. Ia mengeluarkan dua buah botol obat dari saku jaketnya dan meminumnya. Walau ia tau obat – obat itu tidak dapat menyembuhkan penyakitnya. Hanya sebagai pengurang rasa sakit saja. Ia mengeluarkan selembar kertas dari sakunya yang lain. Surat hasil pemeriksaan darahnya dari laboratorium rumah sakit setempat. KANKER HATI STADIUM AKHIR. Kalimat itu benar – benar telah membunuh jiwanya. Ia melipat kertas itu dengan cepat cepat dan menjejalkannya kembali ke dalam saku.
              Biarlah seperti ini. Walau aku menyukaimu. Walau aku menginginkanmu tau perasaanku yang sebenarnya. Tau kau sudah berada di sisiku selama ini saja sudah membuatku bahagia. Walau kau selamanya adalah sahabatku. Walau waktuku sudah tidak lama lagi. Lebih baik begini. Sebab bila aku memohon itu hanya akan semakin menyakitimu. Karena hati ini sungguh tak dapat berkompromi. Biarlah air mata kelak yang kau keluarkan hanya sebatas sahabat, bukan orang yang kutahu membalas cintaku yang tidak mungkin bertahan lama ini. Aku akan tetap mencintaimu.   %

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mengatakan...