Sabtu, Maret 31, 2012

aku tanpa minat

aku tanpa minat
by: wiza leila puspita sari


aku ingin berpuisi
layaknya penyair yang mahir dalam bermain kata
aku ingin bernyanyi
layaknya sang diva yang mahir dalam melantun nada
aku ingin menari
layaknya penari yang mahir dalam gerak selaras

tapi aku tak pandai berpuitis
puisiku berubah jadi mantra
tapi aku gagu
laguku lebih terdengar seperti raungan
tapi aku kaku
tarianku tak lebih dari gerik sebuah robot

wahai pemilik semesta yang enggan berpihak
sungguh kau tak izinkan aku mereguk minat
membiarkanku memberi tanpa merasa tepat
layaknya lilin
menerangi, tapi habis terbakar

akulah penyair tanpa puisi
akulah sang diva tanpa lagu
akulah penari tanpa gerik
aku, terlahir tanpa nikmat mereguk sebuah minat

Rabu, Maret 28, 2012

Jihan pada Tuhan (2)

Bandung, 2 April 2005

Tuhan,
udah lebih sebulan ternyata dari surat terakhir Jihan. Jihan kangen nih, pengen cerita - cerita. sebulan ini makasih atas apa yang sudah Tuhan berikan pada Jihan. susah senang memang silih berganti datang ke hidup Jihan. tapi Engkau dengan baiknya sudah mengirimkan MEREKA pada Jihan. MEREKA yang selalu bisa bikin Jihan senyum dalam menghadapi hari - hari dalam hidup Jihan, bahkan di saat - saat tersulit sekalipun.

tapi hari ini Jihan sedih sekali, Tuhan...
selama ini Jihan udah belajar untuk mencintai Jaden dengan cara yang sederhana.
selama ini Jihan belajar mencintai Jaden secara lugu.
seperti anak kecil yang mencintai benda kesayangannya secara tulus.
mereka tidak pernah mengeluh...

tapi layaknya cinta anak kecil, rasa memiliki Jihan ternyata sangat besar...
layaknya anak kecil, Jihan menangis saat kehilangan kesempatan mencinta itu Tuhan...

hari ini Jihan tau kalau untuk mencintai secara sederhana itu ternyata tidak pernah sederhana.
Jihan sadar mencintai setulus hati itu sangat sulit.
seperti Jaden, Jihan juga hanya ingin mencintai...

Jaden sudah menemukan cintanya, Tuhan...
Jihan hancur hari ini :(

Tuhan peluk Jihan dari semua ini, jauhkan Jihan dari segala urusan ini untuk sementara Tuhan
sampai Jihan sanggup dan kembali dapat memulai untuk mencintai secara sederhana :)


with love,

J

Sabtu, Maret 17, 2012

Jihan pada Tuhan

Bandung, 1 Maret '05


Tuhan,
ini Jihan. tadi Jihan liat Jaden. hari ini dia ganteeeeng... banget. biasanya juga ganteng sih. tapi nggak tau kenapa menurut Jihan hari ini Jaden keliatan keliatan lebih ganteng dari biasanya. mungkin karena Jaden hari ini pake baju warna biru tua, warna kesukaan Jihan. tapi nggak juga, sebelumnya Jaden juga sering pake baju warna itu, tapi nggak pernah seganteng hari ini.mungkin karena Jaden hari ini senyumin Jihan. tapi nggak juga, sebelumnya Jaden juga selalu senyum kalo lagi ngajakin Jihan ngobrol, tapi nggak pernah seganteng hari ini. apa mungkin Jaden kena semacam kutukan bakal bertambah ganteng setiap harinya? hihihi.. mana ada kutukan semacam itu. Jihan ngaco ya, Tuhan?


tapi hari ini Jihan menyadari sesuatu. selama ini ramahnya Jaden sama senyumnya memang bukan buat Jihan doang, Jihan tau semua itu Jaden kasih ke semua orang di dekatnya. tapi selama ini Jihan nggak liat ada yang ngerasa beda juga tiap liat semua yang dikasih Jaden itu, kecuali Jihan. nggak hari ini, Tuhan. Karina. entah kenapa Jihan rasa dia juga suka sama Jaden. Jihan nggak tau sejak kapan tepatnya, tapi hari ini Jihan liat itu ada di mata Karina juga, sewaktu dia mengobrol dengan Jaden. menanggapi gurauan Jaden, mengimbangi tawanya.


Tuhan...
Jihan egois banget ya! Jaden itu bukan milik Jihan kan? selama ini Jihan juga nggak maksa buat ingin memiliki dia. tapi kenapa setelah tau ada Karina yang juga merasakan sesuatu seperti Jihan, Jihan jadi nggak ikhlas. Jihan jadi ingin segalanya berpihak ke Jihan.waktu, momen - momen indah, kesempatan, Jihan jadi maruk menuntut semuanya untuk berpihak pada Jihan. Jihan kenapa, Tuhan?


Karina itu teman Jihan. tapi sekarang setiap melihat Karina, ada perasaan mengganjal di hati Jihan.


Jihan tulus sayang sama Jaden.
Karina juga mungkin sama tulusnya kayak Jihan.
tetapi kenapa Jihan malah merasa rasa rindu yang Jihan rasain ke Jaden nggak pernah sama kayak yang Karina rasain?
kenapa sekarang Jihan mulai merasa menuntut, Tuhan?


Tuhan,
maafin Jihan. Jihan udah egois. mungkin saat ini memang ini yang Jihan rasain... hati Jihan bilang ini karena Jihan sayang sama Jaden :)



sincerely,


J

Minggu, Maret 11, 2012

pindah

hi there! hari ini, tidak, tepatnya 10 Maret kemaren, gue merasakan yang namanya pindah rumah. setelah lebih dari 20 tahun gue hidup di dunia ini, baru kali ini gue merasakan yang namanya pindah rumah.

saat gue hijrah ke Padang, memang, hampir semua barang gue yang ada di kamar --di Pekanbaru-- berpindah ke kost-an gue yang di padang. tapi gue tidak merasa pindah. melainkan ditempatkan di lingkungan yang baru saja. karena toh gue bakal bisa balik lagi ke rumah gue di Pekanbaru. beda dengan pindah yang gue rasakan sekarang. gue tidak akan bisa lagi kembali ke kost-an lama yang gue tinggalkan. dan satu hal yang gue dapat bahwa pindah tidaklah selalu menyenangkan.

excited memang mendapati diri gue sekarang telah berada di rumah baru dengan teman - teman yang telah gue kenal pula. tetapi yang namanya pindahan memang selalu ribet. dan yang namanya suasana baru selalu butuh penyesuaian. jadilah gue mulai melakukan penyesuaian lagi. mengatur kebiasaan lagi. bahkan mengatur mood lagi.

semoga pindah kali ini benar - benar mendatangkan suasana yang lebih baik bagi gue dan juga 2 teman gue yang juga pindah. Amiiin...

tetapi seperti yang gue bilang tadi, sekaligus juga mengutip pendapat bang Raditya Dika dalam buku barunya Manusia Setengah Salmon, "pindah memang tidak selalu mudah". semoga gue benar - benar bisa MOVE ON dalam  suasana baru ini ya :)



p.s. tapi untuk berpindah ke lain hati memang tidak pernah mudah. membayangkannya saja tidak bisa. ha!

Rabu, Maret 07, 2012

KIM

hi there! KIM, what is it?


KIM adalah panggilan sayang gue untuk sebuah subject alias mata kuliah yang nama aslinya "Analisa Fisiko Kimia" dan biasa disingkat ANFISKIM.


seharian ini gue dan semua ULTIMATERS sedang berjuang dalam pedekate bersama KIM. mulai dari mengenalnya, sampai menaklukannya. sehingga bisa menyayanginya.


sejauh ini gue sudah mulai mengenal KIM. tapi KIM seperti enggan untuk diakrabi. jual mahal! agak depresi untuk bisa memilikinya seutuhnya. gue dan yang lainnya masih berusaha hingga beberapa waktu yang lalu.


sekarang sudah dini hari. maaf, KIM, lo harus gue tinggal tidur dulu. berhubung tingkat kefatigue-an gue sedang sangat tinggi. bye KIM.. see you at 4 a.m. :D


p.s. KIM, please be mine!

Sabtu, Maret 03, 2012

You Belong with Me (Part 1)

hi there. cerita ini diilhami dari lagu yang dinyanyiin salah seorang penyanyi favorit gue. You Belong With Me by Taylor Swift. enjoy :) tapi part 1 nya dulu yaaa... hehehe :D


You Belong with Me


            Nadira menyibakkan tirai jendela kamarnya dan mendapati Alqa sedang serius menulis sesuatu di atas meja belajarnya. Cukup lamanya Nadira termenung memperhatikan anak tetangganya itu hingga dengan tiba – tiba Alqa mengangkat kepalanya. Pemuda itu tersenyum. Nadira tersentak dan sontak menutup tirai jendelanya dengan satu gerakan cepat. Nadira merasakan jantungnya berdegup kencang. Disibaknya sedikit tirai itu, mengintip. Ternyata Alqa masih berdiri di depan jendelanya. Menunggu gadis itu, seperti hendak menunjukkan sesuatu. Menyadari pemuda itu masih tetap menunggu, Nadira membuka tirainya semakin lebar.
            “Ngintip?” Tanya Alqa melalui kertas buku gambarnya yang ia tunjukan melalui jendela.
            “Nggak, kok!” balas Nadira dengan cara yang sama.
            “Terus?”
            “Lagi mikir.”
            “About me?”
            “Absolutely NOT!”
            Alqa menertawakan kekesalan Nadira. Gadis itu cemberut dan menutup kembali tirai jendelanya dengan sedikit kasar. Nadira kembali mengintip, Alqa masih tertawa di sana. Nadira tersenyum dan diam – diam merasa sangat senang melihat Alqa tertawa. Gadis itu membuka lembaran baru pada buku gambarnya dan menuliskan sederetan huruf berukuran besar di atasnya.
            ‘I Love You’
            Nadira mendekat ke jendela, ingin menunjukkan tulisan itu pada Alqa. Tapi hal itu tidak sempat dilakukannya karena tirai jendela kamar Alqa telah tertutup.

***
            Nadira duduk di bangku yang terletak di antara rumahnya dan rumah Alqa. Seperti biasa, gadis itu terlihat sedang membaca novel yang tebalnya bahkan melebihi kamus bahasa Inggris keluaran Oxford. Nadira adalah seorang kutu buku sejati! Itu pulalah alasan Alqa memberi panggilan khusus pada gadis itu, Bug. Alqa melihat gadis berkaca mata tebal yang sudah dianggapnya sahabat karib itu dan mendekatinya. Nadira kaget sedikit melihat Alqa telah duduk di sampingnya.
            “Hi, Bug!” sapa Alqa.
            “Hi…” balas Nadira malas.
            Alqa mengernyit sedikit mendengar sapaan dari sahabatnya itu. Alqa menarik kacamata tebal Nadira dengan raut cuek.
            “Apaan sih lo, Al? sini balikin kacamata gue!” sungut Nadira.
            “Siapa suruh elo nyuekin gue?” sahut Alqa cuek.
            Nadira kesal mendengar jawaban Alqa. Alqa memang benar, Nadira tidak seharusnya bersikap cuek terhadap Alqa. Tapi mau bagaimana lagi, setiap Alqa terlihat rapi dan wangi seperti ini, berarti pemuda itu sedang ada janji dengan seorang gadis yang merupakan gebetannya. Terang saja Nadira uring – uringan dibuatnya. Tapi dasar cowok, emang nggak peka!
            “Al, sini deh, balikin kacamata gue!” kata Nadira memohon.
            Alqa tersenyum cuek dan memasangkan kacamata tebal itu kembali ke wajah Nadira. Mata mereka bertemu sebentar sebelum Nadira buru – buru mengalihkan pandangannya. Alqa masih menatap Nadira, mencoba menemukan titik focus mata gadis itu, tapi ia telah berpaling. Akhirnya Alqa menghela napas.
            “Lagi baca apaan, sih?” Tanya Alqa.
            Nadira tidak menjawab, diangkatnya saja novelnya dan menunjukkan sampulnya pada Alqa. Alqa cuek – cuek saja.
            “Mau pergi, ya?” Tanya Nadira akhirnya, tidak tahan diam – diaman begitu dengan Alqa.
            “Ya.”
            “Dengan siapa kali ini?”
            Alqa tergelak. “Menurut lo gue ini cowok tengik yang suka ganti – ganti cewek, ya?”
            Nadira hanya mengangkat bahu.
            “Gue ada janji mau pergi nonton bareng Alexa.”
            Nadira melotot mendengar jawaban Alqa. “Alexa?!” tanyanya setengah teriak.
            Alqa mengangguk.
            “Kapten cheers tim rugby sekolah kita?” Nadira masih tidak percaya.
            Alqa mengangguk lagi. “Kenapa? Kok kayaknya lo nggak percaya gitu? Tim cheers kan latihannya di lapangan rugby, di situ gue kenal dia lebih dekat,” terang Alqa.
            “Hmm, yeah! Secara elo kapten tim rugby sekolah kita!” dengus Nadira sinis.
            Dan yang lo liat udah pasti kapten tim cheers, ketimbang gue yang Cuma seorang pemain clarinet grup drum band. Walaupun gue juga latihan di lapangan rugby, lo nggak pernah menyadarinya. Tambah Nadira dalam hati.
            Menyadari perubahan suasana hati Nadira, Alqa kembali menatap gadis itu. Kali ini Nadira tidak mengalihkan tatapannya. Mereka berdua terdiam sejenak, Alqa menyelipkan rambut Nadira ke balik telinga gadis itu untuk melihat wajahnya lebih jelas. Nadira merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Tidak ada dari mereka yang bergeming hingga suara klakson yang memekakkan telinga terdengar dari sebuah sedan merah super mewah yang berhenti di depan mereka.
            “Gue pergi dulu…” ujar Alqa lemah dan berjalan menuju mobil tersebut.
            Alexa tampak berdiri angkuh di sisi mobilnya, gadis itu memandang Nadira sinis. Tatapannya jelas menunjukkan bahwa ia tidak suka Nadira dekat – dekat dengan Alqa. Mobil itu berlalu, Alqa membuka jendelanya dan melambaikan tangan pada Nadira, gadis itu mebalas dengan lambaian lemah.
            Sampai kapan gue kayak gini? Batinnya geram.

***

            Nadira sedang duduk gelisah di dalam kamarnya. Dia melihat melalui jendela kamarnya ke kamar Alqa. Tapi pemuda itu tidak ada di sana. Cukup lama kamar itu kosong hingga kemudian Alqa masuk dengan telepon genggam di telinganya. Sepertinya pemuda itu sedang menelepon seorang gadis.
            Pasti si kapten cheers! Tebak Nadira.
            Tapi dari gelagatnya, sepertinya Alqa dan Alexa sedang ada masalah yang tidak baik. Dapat dilihat dari kekesalan yang tergambar di raut wajah Alqa, dan cara pemuda itu membanting ponselnya ketika pembicaraan telah usai. Alqa melihat ke jendela dan mendapati Nadira sedang menunjukkan sesuatu melalui buku gambarnya. Pemuda itu mendekat ke jendela untuk melihatnya lebih jelas.
            “You OK?” Tanya Nadira.
            “Tired of drama!”
            “Sorry…”
            Alqa hanya mengangkat bahu. Nadira sekali lagi menuliskan kalimat ‘I Love You’ dan akan menunjukkannya pada Alqa ketika pemuda itu baru saja menutup tirai jendelanya. Nadira merobek kertas tersebut dan bertekad secepatnya ia akan menyampaikan perasaannya ini pada Alqa.
            Nadira tau Alqa bahkan sebenarnya tidak pernah cocok dengan Alexa. Gadis itu pun yakin Alqa menyadari hal itu. Sifat mendominasi Alexa benar – benar menjadikan Alqa seolah – olah hanya kacung oleh gadis itu. Alexa tidak pernah tau apa yang sebenarnya disenangi oleh Alqa, bagaimana ia menyukai music jazz, tentang mimpinya untuk menjadi seorang musisi dan pencipta lagu dalam jenis music tersebut, bahkan tenatang dirinya yang sebenarnya tidak menyukai pergaulan yang terlalu bebas. Mungkin Alexa hanya tau bahwa Alqa menyenangi olahraga rugby. Jelas, karena pemuda itu sebagai kapten handal tim yang selalu membanggakan sekolah mereka.
            Satu hal yang lebih diyakini oleh Nadira, Alqa pun pasti tidak pernah menceritakan dirinya sedetil itu kepada Alexa yang merupakan tipikal gadis angkuh, egois, dan mendominasi, namun sangat cantik dan populer di sekolahan. Berbeda sekali jika pemuda itu sedang bersama Nadira. Alqa selalu menceritakan apapun tentang dirinya pada gadis itu. Alqa yang selalu berhias senyum, yang tidak pernah Nadira lihat dipertunjukkan pemuda itu kepada orang lain demi menjaga wibawanya sebagai kapten tim rugby kebanggaan sekolah.
            Hhh… nadira menghela napas. Diambilnya gitar kesayangannya yang disandarkan ke lemari. Jemarinya mulai memetik senar gitar, dan dari bibir mungilnya terdengar senandung pelan nan merdu.

But she wears shorts skirt, I wear T-Shirt
She’s cheer captain and I’m on the bleachers
Dreaming ‘bout the day when you wake up and find
That what you’re looking for has been here
The whole time…

***

25 minutes

25 minutes

      Saat ini aku sedang mengenang masa – masa indahku dengan Becky yang memang tidak berlangsung lama. Dan sekarang Becky menghilang entah kemana tanpa meninggalkan sepatah kata pun kepadaku.
      “Becky, aku akan selalu menyayangimu seperti ini. Tidak akan berkurang sedikitpun. Justru mungkin akan bertambah. Kuharap kau pun begitu padaku…”ujarku kepada Becky.
      “Oh, ayolah, Ron! Seperti aku akan meninggalkanmu saja! Itu tidak akan pernah terjadi. Kepada siapa lagi aku akan bermanja – manja seperti ini kalau bukan kepadamu?” goda becky kala itu dengan penuh senyuman kepadaku. Hal ini terasa sangat meyakinkan mengingat aku dan Becky adalah pasangan serasi yang selalu membuat iri teman – teman kami.
      Tapi sekarang? Entahlah! Aku bahkan tidak tahu apa alasannya pergi meninggalkanku. Sekali lagi kupandangi layar ponselku. Berharap Becky menghubungiku sedetik kemudian. Dan aku tetap tahu bahwa ini adalah pengharapan yang sia – sia.

$$$

      “Tammy, ku mohon beri tahu aku dimana Becky sekarang. Aku hampir putus asa mencarinya. Dan aku tahu kau pasti tahu dimana keberadaannya. Hanya kau satu – satunya sahabat terbaik Becky…” rayuku pada Tammy. Seperti yang telah kukatakan dia adalah satu – satunya sahabat terbaik Becky.
      “Memang begitulah seharusnya, Ronald! Tapi masalahnya, Becky pun ikut menghilang dariku. Aku benar – benar minta maaf!” ujarnya takut – takut. Aku yakin ada suatu hal yang dia coba sembunyikan dariku.
      “Kau yakin tidak ada yang kau sembunyikan dariku, Tam?” tanyaku meyakinkannya.
      “Eh, ti – tidak. Kau kan pacar sahabatku. Apa yang harus kusembunyikan darimu, Ron?”
      “Hhh… baiklah kalau begitu. Aku permisi saja… mungkin memang belum takdirku untuk bertemu dengannya.”
      Aku pun meninggalkan Tammy. Dan sekali lagi aku tahu dia memandangku dengan tatapan mengiba. Seandainya aku tahu apa yang ia dan Becky sembunyikan dariku.

$$$

      “Nyonya Hess, mungkin saya telah menyakiti hati putri Anda. Untuk itu saya benar – benar minta maaf…” aku memohon pada nyonya Hess, ibu kandung Becky. Aku sekarang sedang duduk di sofa empuk di ruang tamu rumah keluarga Becky. Tapi ia tetap tidak ada di rumah.
      “Kau tidak salah, anakku. Tapi memang ada suatu hal yang aku tidak bisa sampaikan padamu. Aku sudah terlanjur berjanji pada Becky untuk tidak mengabari apapun tentangnya kepadamu.” Wajah Nyonya Hess kelihatan mengiba ketika menjawab permohonanku.
      “Sepertinya putri Anda benar – benar menginginkan saya bunuh diri di hadapan Anda!”
      “Kau tidak perlu melakukan itu, anakku. Putriku berpesan untuk menyampaikan sesuatu padamu…”
      Pernyataan Nyonya Hess membuat aku serasa memiliki sebuah harapan untuk dapat menemukan Becky dan membawanya kembali ke sisisku.
      “Apa katanya?” buruku.
      “Dia hanya berpesan agar kau terus mencari. Mungkin ada suatu tempat yang kau lewatkan. Mungkin kau tidak pernah berfikir untuk mencarinya di tempat tersebut,”jawab Nyonya Hess.
      Otakku berputar lebih cepat menanggapi satu – satunya petunjuk yang diberikan Becky kepadaku. Oh ayolah Ron, berpikirlah! Tempat dimana kau dan Becky pernah bertemu atau mungkin pergi bersama, dan aku tidak pernah berpikir Becky ada di sana! Aku tau, aku tau!  Gedung teater kampus kami! Mungkin itu tempatnya. Itu adalah tempat pertama kali aku bertemu Becky. Aku memang tidak pernah berpikir kenapa Becky akan menungguku di tempat itu? Karena kami sudah lulus sejak empat tahun yang lalu. Dan aku dan Becky pun tidak pernah lagi berkunjung ke tempat itu.

$$$

      Hari ini adalah hari minggu. Aku memiliki banyak waktu untuk mencari Becky dan memintanya kembali lagi padaku. Atau mungkin pertama – tama aku akan minta maaf dulu padanya. Aku sudah berdiri di hadapan kampus kami. Sepertinya sedang ada acara yang diselenggarakan karena ramai sekali mobil yang terparkir padahal hari ini seharusnya hari libur. Mungkin itu dia! Hari ini ada pertunjukan teater dan Becky bermaksud memberikan kejutan padaku dengan kehadirannya. Sama seperti waktu kami pertama kali bertemu dulu.
      Dengan riang aku melangkah terus hingga sampai di depan gedung pertunjukan teater. Jantungku berdegup kencang saat melihat seseorang yang sangat aku kenal berdiri hanya beberapa meter di depan mataku. Itu dia! Becky! Takdir akhirnya mempertemukan kembali aku dan Becky di tempat pertama kali kami bertemu. Tapi kalau boleh memilih, aku pun tidak bakal mau bertemu lagi dengannya jika keadaannya seperti sekarang.
      Itu benar – benar Becky. Dia tampak bahagia saat ini. Becky mengenakan gaun putih yang anggun, sehingga dia tampak benar – benar memesona. Siapapun yang hadir di sini pasti juga dapat merasakan kebahagiaannya. Tapi tidak dengan diriku.
      Bagaimana aku bias bahagia melihat Becky mengenakan gaun pengantin, dan di sebelahnya berdiri seorang pemuda yang tampak sangat serasi dengannya? Hatiku hancur di atas kebahagiaan orang yang paling kukasihi. Tanpa sadar aku menangis. Padahal menangis adalah pantangan bagi setiap laki – laki. Dan terlebih karena aku tidak mungkin menangis di hadapan orang banyak. Tatapanku bertemu dengan mata Becky. Ia melihatku dan tampak dari wajahnya raut sedih yang saat ini tidak ingin kulihat. Becky memanggil seseorang yang berada di dekatnya dan meminta kertas untuk ditulisi sesuatu. Orang itu kemudian datang padaku dan menyerahkan secarik kertas yang dititipkan Becky padanya.
      Aku membaca pesan yang ditinggalkan Becky dan berlari dari tempat itu menuju mobilku. Dengan sembrono aku mengendarai mobilku di jalan yang sedang ramai. Aku tidak memikirkan apa – apa lagi kecuali wajah dan tawa bahagia Becky dalam gaun pengantinnya. Dan aku tidak bisa merasakan apa – apa lagi sejak mobilku menghantam pembatas jalan tol dalam perjalanan pulang.


Boy I missed your kisses all the time but this is
Twenty five minutes too late
Though you travelled so far
Boy I’m sorry you are
Twenty five minutes too late

becky
 


















*this story is based on the song “25 mintues” by: MLTR

love is not just a word

LOVE IS NOT JUST A WORD

San Diego, 22 Februari 2010

              Demi melihatnya ada di hadapanku, aku mengusap kepalanya lembut. Cassio bergerak dari tidurnya. Sejenak aku salah tingkah karena mengira dia akan terbangun. Tetapi sepertinya Cassio terlalu lelah saat ini setelah menungguiku semalam suntuk. Sakit di kepalaku memang telah hilang. Tapi hatiku terasa kosong. Karena telah sepenuhnya kepada sahabat yang ada di hadapanku sekarang. Yang sedang asyik tertidur dalam posisi duduk di sisi tempat tidurku. Dan aku sangat MENCINTAINYA! 

***

San Diego, 21 Februari 2010 pukul 07.45 waktu setempat

              “Vara, Vara!”
              Seseorang memanggil Vara dari belakang. Vara menoleh ke belakang. Tampak Cassio sedang mengejarnya. Ada – ada saja Cassio ini. Mereka kan pasti bertemu juga di kampus, kenapa harus mengejarnya seperti itu?
              “Vara!” panggil Cassio lagi.
              “Hei! Kenapa? Sepertinya kau tergesa – gesa sekali!”
              “Vara, ikutlah denganku!”
              “Kemana? Kalau kau akan membuatku terlambat dating ke kampus, lupakan saja!”
              Vara berjalan agak cepat meninggalkan Cassio. Tapi Cassio malah menahan lengan Vara. Vara tersentak, tubuhnya seketika berbalik menghadap Cassio yang tengah menatapnya.
              “Ikutlah denganku!” perintah Cassio lagi. Kali ini nadanya terdengar begitu serius.
              Dahi Vara mengernyit demi melihat tingkah aneh sahabatnya itu.
              “Oh, oke! Tapi kumohon berhentilah bersikap aneh dan lepaskan tanganmu dari lenganku! Aku bisa jalan sendiri.”
              “Aku tidak akan melepaskanmu lagi!”
              Mau tidak mau Vara ikut saja ditarik – tarik sedemikian oleh Cassio. Dirinya terlalu bingung hanya untuk menebak – nebak apa yang sebenarnya terjadi pada sahabatnya itu. Vara terbingung – bingung karena Cassio membawanya ke salah satu taman di kawasan Balboa Park.
              “Baiklah, apa yang akan kita lakukan di sini? Kau sungguh membuatku bingung,” ucap Vara pada Cassio yang masih terus menatapnya.
              Cassio tidak menjawab. Dia malah menghela napas panjang dan berjalan menyusuri  taman. Vara hanya bisa mengikutinya dalam diam. Cassio masih terus berjalan hingga langkahnya terhenti dan ia mendudukkan tubuhnya di sebuah bangku taman. Di hadapannya persis terhampar bermacam – macam bunga yang warnanya mampu menyejukkan mata. Cassio terduduk seolah – olah kelelahan sudah terlalu lama membebaninya. Vara duduk disamping sahabatnya itu dan menunggu sepatah kata yang akan terucap dari mulut Cassio.
              “Kau sedang ada masalah,” tutur Vara. Itu adalah sebuah pernyataan. Cassio malah menghela napas lebih panjang karenanya.
              “Sudah berapa lama kita bersama?”
              “Ayolah, Cassio. Pertanyaan macam apa itu?”
              “Jawab saja!”
              Kali ini giliran Vara yang menghela napas. “Baiklah. Empat tahun.”
              “Apakah kau tidak merasakan sesuatu sedikitpun terhadapku?”
              “Aku tidak mengerti.”
              “Ternyata benar. Hanya aku yang merasakannya. Tidakkah kau merasa aku menyukaimu sejak lama? Tidak bisakah kita akhiri saja persahabatan ini?”
              “Kenapa? Kau ingin kita memiliki hubungan yang lebih, lalu bila kita bertengkar hebat kita akan berpisah begitu saja? Kau sudah tidak ingin berada di dekatku lagi?”
              “Bodoh! Kenapa malah hal buruk begitu yang kau pikirkan? Kenapa tidak berpikir kita akan bahagia?”
              Vara diam saja. Dia tau sahabatnya itu benar. Dan bohong bila ia mengatakan ia tidak berharap lebih terhadap sahabatnya ini. dia juga sangat menyukai Cassio. Tapi apakah benar yang dirasakannya ini?
              “Jawablah. Aku menyukaimu.”
              “Tapi kenapa begitu tiba – tiba?”
         “Karena aku sakit keras. Hidupku tidak akan lama lagi. Aku tau aku egois dengan mengatakan ini padamu. Tapi sebelum semua terlambat, hiasilah hari – hariku yang tinggal sedikit ini. kumohon…”
              “Apa? Kau bercanda! Ini tidak lucu, Cass!”
       “Begitukah? Menurutmu aku membohongimu? Kalau begitu bagaimana bila aku menunjukkan ini padamu?”
              Vara melihat kertas yang disodorkan Cassio dan membuka lipatannya. Dari rumah sakit. Kertas itu adalah hasil pemeriksaandarah dari  laboratorium yang menyatakan bahwa Cassio mengidap kanker hati stadium akhir. Vara menutup mulutnya dengan tangan saking kagetnya.
              “Kau tau aku sering mengeluh soal sakit maag-ku? Ternyata tidak hanya maag biasa. Hatiku telah rusak. Jadi kumohon…”
           “Tidak! Jangan memohon! Ini tidak mungkin terjadi! Kau membohongiku! Kau membohongiku!” Vara berteriak – teriak. Tanpa terasa ia telah menangis sekeras – kerasnya.

              Tapi itu hanyalah sebuah mimpi buruk. Vara terbangun dan sadar dirinya benar – benar menangis. Mimpi itu sungguh nyata. Dan ia sadar ia telah memberikan seluruh hatinya untuk menggantikan hati Cassio yang telah rusak. Walau sekali lagi itu hanya mimpi. Tapi hatinya telah diserahkannya. Ia menyayangi sahabatnya sendiri. Ia tidak ingin kehilangan sahabatnya, cintanya. Astaga! Ia bahkan mencintai sahabatnya sendiri!
              Tiriririit! Tiriririit!
              Vara merasakan ponselnya bordering dan bergetar – getar tepat disampingnya. Vara berusaha menjawab panggilan masuk tapi kepalanya terasa berputar – putar. CASSIO tertera di layar ponsel membuat Vara ragu akan perasaannya sendiri. Jantungnya berdegup dua kali lebih cepat.
              “Halo…” jawab Vara dengan suara yang ternyata serak.
            “Ternyata benar dugaanku. Kau membutuhkan kehadiranku, kan? Kau baik – baik saja?” Tanya Cassio penuh perhatian, seperti biasa.
              “Aku baik – baik saja. Hanya sedikit pusing.”
              “Baiklah. Aku akan dating membawakan obat.”
              “Tidak usah, Cass!”
          “Hei, sejak kapan kau belajar menolakku? Apakah kita sudah tidak bersahabat lagi?” Cassio terdengar merajuk. Nadanya dibuat – buat.
              “Baiklah. Maafkan aku!”
             “Kau tau? Kau benar – benar aneh malam ini. Spertinya kau benar – benar sakit. Tunggu aku di rumah!”
              Tanpa menunggu jawaban Vara, Cassio sudah memutuskan panggilan. Sambil menunggu Cassio, Vara berusaha jalan ke dapur untuk menyeduh the hangat. Walaupun kepalanya terasa sakit sekali. Vara sedang berdiri di depan kompor ketika dirasakannya tubuhnya linglung. Ia nyaris pingsan. Untungnya Cassio datang tepat waktu dan memapah tubuh Vara ke kursi makan.
              “Anak nakal, kenapa kau bisa sampai sakit begini? Tidak makan lagi? Jangan terlalu sibuk mengerjakan tugas hingga lupa makan. Kau ingin membuat aku repot, ya?” Cassio berlagak memarahi Vara seperti sedang memarahi anak kecil.
              “Benarkah? Kau kerepotan karena aku?”
            “Hah, sudahlah! Jangan banyak bicara dulu. Bicaramu aneh sekali karena kau sakit. Biar malam ini aku merawatmu. Orangtua mu bisa memaksamu pulang ke Indonesia jika aku tidak becus merawatmu. Aku bisa gila jika itu benar – benar terjadi.”
              Mata Vara membulat demi mendengar perkataan Cassio barusan. Lagi – lagi jantungnya berdegup lebih cepat. Meski sebenarnya ia tahu maksud sahabatnya tadi bukan seperti yang sedang ia pikirkan.
              “Oya, minumlah obat ini! Lalu aku akan mengantarmu ke kamar. Istirahatlah! Mungkin kau terlalu banyak berpikir belakangan ini. Kalau perlu besok tidak usah masuk kuliah dulu. Aku akan meminta salinan catatan dari teman – temanmu.”
              “Kau tahu, Cass? Kau seperti ibuku saja! Berhentilah bersikap seperti ibu – ibu atau aku akan mulai memanggilmu bibi!”
              “Datanglah pada ibu, sayang! Hahahaha. Sepertinya kau sudah agak baikan.”
              Vara tersenyum menyambut gurauan sahabatnya ini. Biarlah seperti ini. Aku sudah senang hanya dengan melihatmu tertawa.Aku bisa bahagia dengan semua perhatianmu. Dan aku sudah cukup bisa bertahan dengan kasih sayangmu yang seperti ini. Walau kau selamanya sahabatku.
              Cassio membantu Vara berjalan ke kamarnya. Setelah minum obat sepertinya Vara benar – benar harus beristirahat. Wajahnya pucat dan tampak kelelahan. Keceriaan yang biasanya menghiasi wajahnya seakan lenyap tak berbekas saat ini. Vara langsung tertidur begitu Cassio menyelimutinya.
              “Tidurlah! Aku akan tetap menjagamu di sini.”
              Cassio pun tiba – tiba merasa lelah sekali. Rasa sakit pun mulai menggerogotinya. Ia mengeluarkan dua buah botol obat dari saku jaketnya dan meminumnya. Walau ia tau obat – obat itu tidak dapat menyembuhkan penyakitnya. Hanya sebagai pengurang rasa sakit saja. Ia mengeluarkan selembar kertas dari sakunya yang lain. Surat hasil pemeriksaan darahnya dari laboratorium rumah sakit setempat. KANKER HATI STADIUM AKHIR. Kalimat itu benar – benar telah membunuh jiwanya. Ia melipat kertas itu dengan cepat cepat dan menjejalkannya kembali ke dalam saku.
              Biarlah seperti ini. Walau aku menyukaimu. Walau aku menginginkanmu tau perasaanku yang sebenarnya. Tau kau sudah berada di sisiku selama ini saja sudah membuatku bahagia. Walau kau selamanya adalah sahabatku. Walau waktuku sudah tidak lama lagi. Lebih baik begini. Sebab bila aku memohon itu hanya akan semakin menyakitimu. Karena hati ini sungguh tak dapat berkompromi. Biarlah air mata kelak yang kau keluarkan hanya sebatas sahabat, bukan orang yang kutahu membalas cintaku yang tidak mungkin bertahan lama ini. Aku akan tetap mencintaimu.   %